Someone Like Them
Rintik hujan mulai membasahi halaman
depan rumah nenekku. Embunnya mulai membasahi jendela kamarku yang pada awalnya
adalah kamarku dan keluargaku menginap saat berkunjung kerumah nenek. Suara
gemercik air yang berjatuhan dan saling berbenturan dengan jalan yang beraspal,
meramaikan suasana rumah yang tak kalah sepi dengan makam. Aku hanya tinggal
sendiri dengan nenekku, ketika kakekku telah berpulang. Baru minggu lalu,
semiggu setelah hari itu aku pindah dan tinggal bersama nenekku. Semakin sunyi
dan semakin sepi. Mungkin menurutmu ini biasa bagiku. Tapi, kau salah. Meskipun
aku selalu menjalani hari-hari yang sepi, tapi hatiku slalu saja menangis. Aku
bukan orang yang cukup tegar. Aku hanya gadis yang rapuh, tapi tetap saja keras
kepala untuk menjadi tegar.
Hujan ini ingatkanku pada
kenangan masa itu. Aku salah telah menolak ajakanya pada saat itu. Sungguh itu
penyesalan yang teramat dalam. Andai saat itu aku bersama mereka. Hari inipun
aku tetap bersama mereka, meski bukan di dunia ini. Setelah aku melamun
beberapa saat, kusadari hujan telah berhenti dan berganti dengan mentari.
Hangatnya mentari menembus jendela kamarku hingga dapat kurasakan. Aku selalu
berharap, ketika hujan telah berhenti berjatuhan aku akan bisa melihat indahnya
pelangi. Tapi itu jarang sekali terjadi, aku tahu itu.
“Firlie, apa kamu nggak pergi
jalan-jalan ke sawah? Biasanya setiap sore kamu pergi kesana. Nenek rasa
hujannya sudah reda.” Teriak nenek dari arah dapur.
“Iya nek. Aku berangkat.”
Memang
hampir setiap sore kunikmati indahnya sunset
di sawah yang tidak jauh letaknya dari rumah nenekku. Kau tau? Ini adalah
tempat yang penuh kenangan. Kenangan bersama ayah, ibu dan kakakku tercinta.
Tentu sebelum kecelakaan maut itu terjadi. Kecelakaan yang merenggut nyawa
orang-orang yang sangat kusayangi. Hingga akhirnya aku harus tinggal sendiri
dengan nenekku. Dulu aku sangat benci dengan tempat ini. Karena tempat ini
hanya akan membuatku meneteskan butiran air dari mataku. Tapi, setelah aku
sadar, hanya tempat ini yang bisa membuatku merasakan kehadiran mereka. Itu
cukup membuatku tenang dan melupakan sedikit rasa kesepianku. Sesaat aku
melihat sosok ibukku yang begitu cantik dengan rambut panjang dan lurus,
mengenakkan dress berwarna ungu muda berdiri di antara ilalang sedang tertawa manis
padaku. Kakaku, kak Ryan yang begitu tampan dan gagah dengan kaos biru dan
celana jeans favoritnya mengejekku dengan senang. Dan… ayahku yang beristirahat
dengan santai di bawah pohon dengan kemeja abu-abunya dan celana kain hitam.
Bulir-bulir air jatuh dari mata bulatku ini. Itu untuk kesekian kalinya. Hanya
ditempat ini aku merasa kalian masih ada disisiku.
Akankah kau
tahu namaku, jika aku melihatmu di surga
Akankah
menjadi sama, jika aku melihatmu di surga
Aku harus
kuat, dan terus menatap kedepan
Ternyata tak kusadari, hari mulai
gelap. Matahari pun sudah tak menampakkan sinarnya. Kehangatanya pun telah
berganti dengan angin sendu nan dingin ini. Tapi, saat inilah yang paling ku
tunggu-tunggu. Pada waktu matahari terlampau malu melihatkan sosoknya. Sinarnya
pun tergantikan dengan indahnya bulan, bintang dan… kunang-kunang. Saat itu,
aku berharap, aku menjadi kunang-kunang, ibu menjadi bulan, kak Ryan sebagai
bintang dan tentulah ayahku sebagai langitnya, tempat kami bergantung. Mulai
kulangkahkan kakiku pulang menuju rumahku yang hangat. Cahaya mereka bagaikan
mengantar setiap langkah kakiku. Dari situlah aku tahu, aku tak pernah sendiri.
***
Hari
ini, hari pertama aku masuk di sekolahku yang baru. Sebenarnya minggu lalu aku
sudah bisa merasakan menjadi murid baru. Tapi, aku butuh waktu untuk itu
setelah apa yang telah terjadi. Tentu bukan hasil kerja keras nenek untuk
membiayaiku sekolah. Uang warisan keluargaku dan bantuan-bantuan dari paman-paman
serta bibi-bibiku yang membiayaiku sekolah.
Mulai kulangkahkan kakiku
mengikuti arah langkah kaki pak Ketut, karyawan sekolah ini. Menuju ruang kelas
yang akan menjadi ruang kelasku dan teman-temanku yang baru. Sedikit malu yang
kurasakan. Tapi, aku tak pernah bisa mengekspresikan apa yang kurasakan sejak
kejadian itu.
“permisi bu Rani, ini ada murid baru
pindahan dari Bogor.” Kata pak Ketut pada seorang wanita paruh baya dengan
postur sedikit gendut tapi berwajah ramah yang sedang duduk di meja guru.
“oh, iya pak. Terimakasih.” Jawabnya
dengan sopan. “Baiklah anak-anak, hari ini kita kedatangan anggota baru untuk
kelas ini.” Serunya pada anak-anak sekelas. “silahkan, perkenalkan dirimu.”
Serunya padaku.
Kulangkahkan kakiku masuk
kedalam kelas dan mulai kubuka mulutku. “perkenalkan, namaku firlie. Aku
pindahan dari bogor. Disini aku hanya tinggal bersama nenekku. Salam kenal dan
mohon bantuanya.” Akhirnya kulontarkan juga, tapi tetap saja tanpa ekspresi.
Hingga kutemukan pandangan mereka yang seakan-akan berkata ‘mungkin prasaan
anak ini sudah mati’. Setelah aku selesai memperkenalkan diriku, bu Rani mulai
mempersilahkanku untuk mencari tempat duduk yang kosong. Mulai kuputar bola
mataku mencari kursi itu. Ah! Di sana rupanya, deret dekat pintu nomer 2. Ya,
disebelah gadis berambut lurus pendek sebahu. Segera kulangkahkan kakiku menuju
bangku itu. Aku mulai duduk dan segera berkonsentrasi pada setiap kalimat yang
diucapkan oleh bu Rani. Tapi tetap saja, aku melamun membayangkan mereka.
“kriiiinngg…” bel skolah
berbunyi pada pukul 09.30. ini adalah bel istirahat. Aku berfikir, lalu apa
yang akan aku lakukan? Teman saja tidak punya. Lagi-lagi aku memilih untuk
melamun membayangkan mereka. Tapi lamunanku buyar seketika. Saat gadis sedikit
tomboy sebelahku menjulurkan tanganya dan berkata sambil tersenyum “hai, namaku
Bintang. Salam kenal”. Dengan sedikit berfikir, dan segera kujabat tanganya
dan... “aku firlie”. Ya, dia teman pertamaku. “fir, ikut aku. Aku akan
mengenalkanmu pada seisi sekolah ini. Mungkin gak sebagus sekolahmu di Bogor
itu, tapi aku yakin kamu pasti suka.” Ajaknya seraya menarik tanganku. Mungkin
kau bisa menebak, bahwa aku memang hanya diam. Tidak seperti Bintang, dia
selalu ceria. Tarikan tangan Bintang memaksa kakiku untuk melangkah. Hingga akhirnya
aku keluar dari kelas ini. Mulut Bintang mulai terbuka dan mengatakan beberapa
kalimat yang tak sepenuhnya kudengarkan. Aku terlalu asik memutar bola mataku
mencari hal yang dapat menarik perhatianku. Hingga langkah kakinya berhenti
pada sebuah taman di tengah sekolah. Kulihat mata bulan sedang mencari-cari,
entah apa yang dicari.
“Hai Bin, di sebelah sini!!” Teriak
seorang gadis berambut panjang lurus dengan melambaikan tanganya pada kami. Ah,
bukan. Pada Bintang tentunya.
“Oh, disitu rupanya.” Jawab Bintang
seraya menarik kembali tanganku dan menuju bangku tempat duduk gadis itu.
“Kamu lama sekali, darimana saja?”
Tanya gadis yang menyapa Bintang tadi.
“Sorry, aku tadi asik keliling
sekolah. Oia, Bulan ini firlie murid baru di kelasku. Dan firlie, ini Bulan
sahabatku”. Jawabnya sambil memperkenalkan sahabatnya padaku.
“hai.. salam kenal”. Sahutku dengan
sedikit senyum kecut yag kupaksakan.
Cukup
lama kami mengobrol. Aku rasa aku mulai nyaman dengan mereka berdua. Tapi tetap
saja. Mereka tidak bisa menumbuhkan perasaanku kembali. Tetap saja sama
rasanya. Hampa, karena memang aku hidup tapi perasaan ini mati. Begitulah
rasanya.
***
“Aku
pulang nek.” Kataku sambil jalan menuju kamarku. Kurebahkan tubuhku di atas
kasur dengan seragam dan sepatu yang masih kukenakan. Aku masih benar-benar
merasa kesepian disini. Lagi-lagi untuk kesekian kalinya, bayangan mereka masih
terekam jelas di memoriku. Tak terasa air mataku mengalir lagi. Aku benar-benar
rindu pada mereka. Bagaimana aku bisa benar-benar hidup jika terus seperti ini.
Hidup namun terasa mati.
Aku
merasa silau, kubuka mataku perlahan, ah ternyata aku ketiduran. Kukucek mataku
sembari mengembalikan kesadaranku. Kuarahkan pandanganku pada jam dinding
kamarku. Sudah malam ternyata. Kulangkahkan kakiku menuju dapur mencari nenek.
Kudapati nenek yang tengah terduduk di ruang makan.
“Nek, malam ini mau makan apa?”
tanyaku pada nenek
Namun nenek hanya diam tak bersuara.
Kudengar sedikit isak tangis. Nenek menangis? Tanyaku dalam hati.
“nek, nenek kenapa? Nenek menangis?”
tanyaku yang mulai cemas
“Tidak apa-apa. Nenek hanya teringat
almarhum kakekmu saja.” Jawab nenek dengan suaranya yang bergetar menahan
tangisan.
Ternyata bukan hanya aku yang
merasakan kehilangan yang begitu amat dalam. Mengingat umurku yang sudah 17
tahun ini, harusnya aku yang menjaga nenek dan membuatnya bahagia, bukan
sebaliknya. Rasa bersalah mulai menggeluti hati dan pikiranku.
“Sudah nek, kalau nenek sedih,
bagaimana dengan kakek di sana? Pasti lebih sedih bila melihat nenek disini sangat
sedih. Kita tunjukan pada mereka semua yang di sana bahwa kita disini baik-baik
saja. Jadi nenek jangan sedih.”
“Iya, memang benar katamu fir.
Yasudah kalau begitu, kamu mau makan apa malam ini? Nenek sedang tidak ingin
memasak malam ini”
“kalau begitu, firlie beli saja di
luar. Firlie berangkat dulu yah nek” kataku meninggalkan ruang makan.
“iyah, hati-hati yah” sahut nenek.
Kupandangi
langit yang gelap tapi tetap indah karna bintang dan bulan yang menyinari.
Kulangkahkan kakiku menyusuri jalanan yang tak begitu ramai. Aku sungguh suka
malam yang cerah seperti ini. Rasanya perutku sudah tak lagi ingin makan.
Kuputuskan kembali pulang melewati hamparan sawah yang terbentang. Lagi-lagi
aku teringat pada mereka. Tapi untuk kali ini aku tersenyum. Aku ingin memberi
tahu mereka bahwa disini aku bahagia, maka kalian bahagialah juga di sana.
***
Hari
demi hari kulewati dengan semangat yang semakin tumbuh. Yang ada di benakku
kali ini hanyalah menjaga nenek dan membuatnya bahagia. Hanya itu, agar aku
tidak menyesal nantinya. Senyum kecil mulai tampak dari bibirku. Namun begitu
cepat lenyap setelah kudapati sesuatu yang berbeda di depan kelas sebrang.
Seorang anak laki-laki yang sedang memainkan gitar dengan begitu tenangnya.
“jreng,, jreng….” Suara gitar yang
merdu ini menarik perhatianku. Kunikmati tiap nada dari petikan getaran dari
beberapa senarnya. Entah kenapa, tapi sungguh ini nada yang indah yang bisa
membuatku tenang, damai dan nyaman. Pandanganku tak bisa lepas darinya hingga
bintang mengagetkanku.
“Doorrrr!!!” gertak bintang seraya
mendorongku.
“tak usah ketus begitu dong fir. Eh,
emang lagi liatin apa sih?” Tanya bintang sembari memutar bola matanya
mencari-cari sesuatu yang menarik. “ohh lagi liatin cowo’ yang di sebrang itu
yah?? Hayooo” tanyanya menggodaku.
“ih, apaan sih, sok tau deh kamu bin”
jawabku tetap ketus
“kau tau, dia itu cowo’ populer disekolah ini. Namanya
langit. Udah ganteng, pinter, jago gitar pula” jawabnya seakan-akan tau
semuanya. “kau suka padanya?” tanyanya.
Ternyata cowo’ populer yah. Aku sih
hanya kagum, nggak sampai suka. Hanya sebatas kagum pada permainan gitarnya.
Karena baru ini ada orang yang bisa memainkan nada pada gitar begitu merdu dan
membuatku tenang. Tapi bisa saja sih rasa kagum ini tumbuh menjadi rasa
suka. Gumamku dalam hati.
“heiii.. masih hidupkaan?” tnya
bintang sambil melambaikan tangannya di depan mukaku.
“ah, iya maaf. Tadi kamu tanya apa?” jawabku
tersadar dari lamunanku.
“aahh kamu ini. Kamu suka yah sama dia?”
tanyanya dengan nada menekan.
“haa? Suka? enggaklah. Kenal aja
enggak” jawabku
sedikit tak jujur padanya.
“kriiingg” bel istirahat menutup
obrolanku dengan sahabatku bintang.
***
Sore
ini gemercik air hujan lenyapkan keheningan. Aku masih terduduk di joglo
sekolah. Lagi-lagi rintik hujan menghantarkan pikiranku pada saat itu. Saat
dimana aku kehilangan orang-orang yang berharga bagiku. Ah, sudahlah bukan
saatnya memikirkan hal itu lagi. Jangan sampai mereka tau airmataku.
Setengah jam
berlalu, hujan belum berhenti juga. Tapi penghuni sekolah sudah tinggal aku dan
pak Samin, tukang kebun sekolah. Aku tak ingin pulang basah kuyup. Karena pasti
aku akan menangis di tengah hujan. Dan merasakan kembali rasa yang begitu
sakitnya pada saat itu. Saat mereka telah menuju rumah kedua mereka dan aku
hanya pulang sendiri. Gerimis hujan yang menemani langkahku pulang saat itu.
Kapan hujan ini akan....
“hei, kenapa kamu belum pulang? Aku rasa
ini sudah terlalu sore.” tanya seorang cowo’ yang membuyarkan lamunanku. Ternyata
bukan tinggal aku saja siswa yang belum pulang. Cowo’ yang tak kukenal. Mungkin
dia bertanya seperti itu karena baginya sungguh aneh jika ada seorang cewe’
yang sampai sekarang belum pulang juga hanya karena hujan gerimis ini. Tunggu,
aku rasa cowo’ ini nggak asing di mataku. Lagi-lagi aku bergumam. Tapi segera
kubuyarkan gumamanku. “ah, aku sedang menunggu hujan ini reda.” Jawabku segera
sebelum aku terlihat seperti cewe’ aneh yang hobby bergumam.
“awannya rata berwarna kelabu, kau tau
itu pertanda apa?” tanyanya padaku yang sedang berarap penuh agar hujan ini
cepat reda.
“emm, pertanda hujan akan segera reda
kan?” jawabku masih penuh dengan harapan.
“kamu salah, ini pertanda hujan akan
tetap gerimis seperti ini sampai 1-2 jam kedepan” jawabnya yang... apa?? 1-2
jam? Aku harus menunggu selama itu? Gumamku dengan mata melotot menuju jalanan
yang basah.
“aku rasa kamu butuh ini.” Katanya
sambil menyodorkan tangannya yang sedang menggenggam sebuah payung. “kamu bisa
memakainya, dan kembalikan kapanpun kamu bisa”. Katanya dengan sedikit senyum
kecil di wajahnya.
Sedikit ragu tapi tanpa basa-basi aku
lalu mengambil payung dari genggamannya. Ah, aku memang butuh ini tapi...
“yasudah, aku harus cepat pulang. Sampai
jumpa!”. Ia lalu pergi dengan melambaikan tangannya padaku. Sepertinya ia
terlihat begitu buru-buru. Ah! aku baru sadar, bagaimana bisa aku mengembalikan
payungnya jika tak tahu namanya. “hei! Siapa namamu?” teriakku spontan.
“aku langit!” teriaknya dari jarak sekitar
9 meter didepanku. Tunggu dulu. Langit? Sepertinya namanya tak asing. Tapi
mungkin hanya perasaanku saja.
Segera
kulebarkan payung biru tua ini. Kulangkahkan kakiku menuju jalanan yang basah
dan sedikit menggenang. Kususuri jalan setapak yang membawaku menuju rumah
nenek yang sekarang menjadi rumahku juga. Sedikit kunikmati pemandangan
sekitar. Kudengar suara merdu gitar. Kuputar bola mataku mencari suara itu.
Ternyata beberapa pemuda yang sedang berteduh sambil meminum segelas kopi panas
sedang bercanda gurau dan sesekali memainkan gitarnya. Tapi serasa ada yang
aneh dalam pikiranku. Tiba-tiba aku teringat lagi pada cowo’ tadi. Ah! Langit?
Dia kan si gitaris yang menarik perhatianku istirahat tadi. Begitu bodohnya aku
bisa melupakannya hanya karena hujan ini. Tapi, karena hujan ini lah yang
menahanku. Hingga aku bisa bertemu dengannya. Pertemuan yang sungguh singkat. tapi, aku ingin lebih mengenalnya lagi...
***
To be continued... ^^
0 komentar:
Posting Komentar