Sabtu, 25 Agustus 2012

my story


   Someone Like Them

         Rintik hujan mulai membasahi halaman depan rumah nenekku. Embunnya mulai membasahi jendela kamarku yang pada awalnya adalah kamarku dan keluargaku menginap saat berkunjung kerumah nenek. Suara gemercik air yang berjatuhan dan saling berbenturan dengan jalan yang beraspal, meramaikan suasana rumah yang tak kalah sepi dengan makam. Aku hanya tinggal sendiri dengan nenekku, ketika kakekku telah berpulang. Baru minggu lalu, semiggu setelah hari itu aku pindah dan tinggal bersama nenekku. Semakin sunyi dan semakin sepi. Mungkin menurutmu ini biasa bagiku. Tapi, kau salah. Meskipun aku selalu menjalani hari-hari yang sepi, tapi hatiku slalu saja menangis. Aku bukan orang yang cukup tegar. Aku hanya gadis yang rapuh, tapi tetap saja keras kepala untuk menjadi tegar.

 
Hujan ini ingatkanku pada kenangan masa itu. Aku salah telah menolak ajakanya pada saat itu. Sungguh itu penyesalan yang teramat dalam. Andai saat itu aku bersama mereka. Hari inipun aku tetap bersama mereka, meski bukan di dunia ini. Setelah aku melamun beberapa saat, kusadari hujan telah berhenti dan berganti dengan mentari. Hangatnya mentari menembus jendela kamarku hingga dapat kurasakan. Aku selalu berharap, ketika hujan telah berhenti berjatuhan aku akan bisa melihat indahnya pelangi. Tapi itu jarang sekali terjadi, aku tahu itu.
“Firlie, apa kamu nggak pergi jalan-jalan ke sawah? Biasanya setiap sore kamu pergi kesana. Nenek rasa hujannya sudah reda.” Teriak nenek dari arah dapur.
“Iya nek. Aku berangkat.”
            Memang hampir setiap sore kunikmati indahnya sunset di sawah yang tidak jauh letaknya dari rumah nenekku. Kau tau? Ini adalah tempat yang penuh kenangan. Kenangan bersama ayah, ibu dan kakakku tercinta. Tentu sebelum kecelakaan maut itu terjadi. Kecelakaan yang merenggut nyawa orang-orang yang sangat kusayangi. Hingga akhirnya aku harus tinggal sendiri dengan nenekku. Dulu aku sangat benci dengan tempat ini. Karena tempat ini hanya akan membuatku meneteskan butiran air dari mataku. Tapi, setelah aku sadar, hanya tempat ini yang bisa membuatku merasakan kehadiran mereka. Itu cukup membuatku tenang dan melupakan sedikit rasa kesepianku. Sesaat aku melihat sosok ibukku yang begitu cantik dengan rambut panjang dan lurus, mengenakkan dress berwarna ungu muda berdiri di antara ilalang sedang tertawa manis padaku. Kakaku, kak Ryan yang begitu tampan dan gagah dengan kaos biru dan celana jeans favoritnya mengejekku dengan senang. Dan… ayahku yang beristirahat dengan santai di bawah pohon dengan kemeja abu-abunya dan celana kain hitam. Bulir-bulir air jatuh dari mata bulatku ini. Itu untuk kesekian kalinya. Hanya ditempat ini aku merasa kalian masih ada disisiku.
Akankah kau tahu namaku, jika aku melihatmu di surga
Akankah menjadi sama, jika aku melihatmu di surga
Aku harus kuat, dan terus menatap kedepan
            Ternyata tak kusadari, hari mulai gelap. Matahari pun sudah tak menampakkan sinarnya. Kehangatanya pun telah berganti dengan angin sendu nan dingin ini. Tapi, saat inilah yang paling ku tunggu-tunggu. Pada waktu matahari terlampau malu melihatkan sosoknya. Sinarnya pun tergantikan dengan indahnya bulan, bintang dan… kunang-kunang. Saat itu, aku berharap, aku menjadi kunang-kunang, ibu menjadi bulan, kak Ryan sebagai bintang dan tentulah ayahku sebagai langitnya, tempat kami bergantung. Mulai kulangkahkan kakiku pulang menuju rumahku yang hangat. Cahaya mereka bagaikan mengantar setiap langkah kakiku. Dari situlah aku tahu, aku tak pernah sendiri.
***
            Hari ini, hari pertama aku masuk di sekolahku yang baru. Sebenarnya minggu lalu aku sudah bisa merasakan menjadi murid baru. Tapi, aku butuh waktu untuk itu setelah apa yang telah terjadi. Tentu bukan hasil kerja keras nenek untuk membiayaiku sekolah. Uang warisan keluargaku dan bantuan-bantuan dari paman-paman serta bibi-bibiku yang membiayaiku sekolah.
Mulai kulangkahkan kakiku mengikuti arah langkah kaki pak Ketut, karyawan sekolah ini. Menuju ruang kelas yang akan menjadi ruang kelasku dan teman-temanku yang baru. Sedikit malu yang kurasakan. Tapi, aku tak pernah bisa mengekspresikan apa yang kurasakan sejak kejadian itu.
“permisi bu Rani, ini ada murid baru pindahan dari Bogor.” Kata pak Ketut pada seorang wanita paruh baya dengan postur sedikit gendut tapi berwajah ramah yang sedang duduk di meja guru.
“oh, iya pak. Terimakasih.” Jawabnya dengan sopan. “Baiklah anak-anak, hari ini kita kedatangan anggota baru untuk kelas ini.” Serunya pada anak-anak sekelas. “silahkan, perkenalkan dirimu.” Serunya padaku.
Kulangkahkan kakiku masuk kedalam kelas dan mulai kubuka mulutku. “perkenalkan, namaku firlie. Aku pindahan dari bogor. Disini aku hanya tinggal bersama nenekku. Salam kenal dan mohon bantuanya.” Akhirnya kulontarkan juga, tapi tetap saja tanpa ekspresi. Hingga kutemukan pandangan mereka yang seakan-akan berkata ‘mungkin prasaan anak ini sudah mati’. Setelah aku selesai memperkenalkan diriku, bu Rani mulai mempersilahkanku untuk mencari tempat duduk yang kosong. Mulai kuputar bola mataku mencari kursi itu. Ah! Di sana rupanya, deret dekat pintu nomer 2. Ya, disebelah gadis berambut lurus pendek sebahu. Segera kulangkahkan kakiku menuju bangku itu. Aku mulai duduk dan segera berkonsentrasi pada setiap kalimat yang diucapkan oleh bu Rani. Tapi tetap saja, aku melamun membayangkan mereka.
“kriiiinngg…” bel skolah berbunyi pada pukul 09.30. ini adalah bel istirahat. Aku berfikir, lalu apa yang akan aku lakukan? Teman saja tidak punya. Lagi-lagi aku memilih untuk melamun membayangkan mereka. Tapi lamunanku buyar seketika. Saat gadis sedikit tomboy sebelahku menjulurkan tanganya dan berkata sambil tersenyum “hai, namaku Bintang. Salam kenal”. Dengan sedikit berfikir, dan segera kujabat tanganya dan... “aku firlie”. Ya, dia teman pertamaku. “fir, ikut aku. Aku akan mengenalkanmu pada seisi sekolah ini. Mungkin gak sebagus sekolahmu di Bogor itu, tapi aku yakin kamu pasti suka.” Ajaknya seraya menarik tanganku. Mungkin kau bisa menebak, bahwa aku memang hanya diam. Tidak seperti Bintang, dia selalu ceria. Tarikan tangan Bintang memaksa kakiku untuk melangkah. Hingga akhirnya aku keluar dari kelas ini. Mulut Bintang mulai terbuka dan mengatakan beberapa kalimat yang tak sepenuhnya kudengarkan. Aku terlalu asik memutar bola mataku mencari hal yang dapat menarik perhatianku. Hingga langkah kakinya berhenti pada sebuah taman di tengah sekolah. Kulihat mata bulan sedang mencari-cari, entah apa yang dicari.
“Hai Bin, di sebelah sini!!” Teriak seorang gadis berambut panjang lurus dengan melambaikan tanganya pada kami. Ah, bukan. Pada Bintang tentunya.
“Oh, disitu rupanya.” Jawab Bintang seraya menarik kembali tanganku dan menuju bangku tempat duduk gadis itu.
“Kamu lama sekali, darimana saja?” Tanya gadis yang menyapa Bintang tadi.
“Sorry, aku tadi asik keliling sekolah. Oia, Bulan ini firlie murid baru di kelasku. Dan firlie, ini Bulan sahabatku”. Jawabnya sambil memperkenalkan sahabatnya padaku.
“hai.. salam kenal”. Sahutku dengan sedikit senyum kecut yag kupaksakan.
            Cukup lama kami mengobrol. Aku rasa aku mulai nyaman dengan mereka berdua. Tapi tetap saja. Mereka tidak bisa menumbuhkan perasaanku kembali. Tetap saja sama rasanya. Hampa, karena memang aku hidup tapi perasaan ini mati. Begitulah rasanya.
***
            “Aku pulang nek.” Kataku sambil jalan menuju kamarku. Kurebahkan tubuhku di atas kasur dengan seragam dan sepatu yang masih kukenakan. Aku masih benar-benar merasa kesepian disini. Lagi-lagi untuk kesekian kalinya, bayangan mereka masih terekam jelas di memoriku. Tak terasa air mataku mengalir lagi. Aku benar-benar rindu pada mereka. Bagaimana aku bisa benar-benar hidup jika terus seperti ini. Hidup namun terasa mati.
            Aku merasa silau, kubuka mataku perlahan, ah ternyata aku ketiduran. Kukucek mataku sembari mengembalikan kesadaranku. Kuarahkan pandanganku pada jam dinding kamarku. Sudah malam ternyata. Kulangkahkan kakiku menuju dapur mencari nenek. Kudapati nenek yang tengah terduduk di ruang makan.
“Nek, malam ini mau makan apa?” tanyaku pada nenek
Namun nenek hanya diam tak bersuara. Kudengar sedikit isak tangis. Nenek menangis? Tanyaku dalam hati.
“nek, nenek kenapa? Nenek menangis?” tanyaku yang mulai cemas
“Tidak apa-apa. Nenek hanya teringat almarhum kakekmu saja.” Jawab nenek dengan suaranya yang bergetar menahan tangisan.
Ternyata bukan hanya aku yang merasakan kehilangan yang begitu amat dalam. Mengingat umurku yang sudah 17 tahun ini, harusnya aku yang menjaga nenek dan membuatnya bahagia, bukan sebaliknya. Rasa bersalah mulai menggeluti hati dan pikiranku.
“Sudah nek, kalau nenek sedih, bagaimana dengan kakek di sana? Pasti lebih sedih bila melihat nenek disini sangat sedih. Kita tunjukan pada mereka semua yang di sana bahwa kita disini baik-baik saja. Jadi nenek jangan sedih.”
“Iya, memang benar katamu fir. Yasudah kalau begitu, kamu mau makan apa malam ini? Nenek sedang tidak ingin memasak malam ini”
“kalau begitu, firlie beli saja di luar. Firlie berangkat dulu yah nek” kataku meninggalkan ruang makan.
“iyah, hati-hati yah” sahut nenek.
            Kupandangi langit yang gelap tapi tetap indah karna bintang dan bulan yang menyinari. Kulangkahkan kakiku menyusuri jalanan yang tak begitu ramai. Aku sungguh suka malam yang cerah seperti ini. Rasanya perutku sudah tak lagi ingin makan. Kuputuskan kembali pulang melewati hamparan sawah yang terbentang. Lagi-lagi aku teringat pada mereka. Tapi untuk kali ini aku tersenyum. Aku ingin memberi tahu mereka bahwa disini aku bahagia, maka kalian bahagialah juga di sana.
***
            Hari demi hari kulewati dengan semangat yang semakin tumbuh. Yang ada di benakku kali ini hanyalah menjaga nenek dan membuatnya bahagia. Hanya itu, agar aku tidak menyesal nantinya. Senyum kecil mulai tampak dari bibirku. Namun begitu cepat lenyap setelah kudapati sesuatu yang berbeda di depan kelas sebrang. Seorang anak laki-laki yang sedang memainkan gitar dengan begitu tenangnya.
“jreng,, jreng….” Suara gitar yang merdu ini menarik perhatianku. Kunikmati tiap nada dari petikan getaran dari beberapa senarnya. Entah kenapa, tapi sungguh ini nada yang indah yang bisa membuatku tenang, damai dan nyaman. Pandanganku tak bisa lepas darinya hingga bintang mengagetkanku.
“Doorrrr!!!” gertak bintang seraya mendorongku.
“ah! Kamu bikin aku kaget aja” jawabku ketus
“tak usah ketus begitu dong fir. Eh, emang lagi liatin apa sih?” Tanya bintang sembari memutar bola matanya mencari-cari sesuatu yang menarik. “ohh lagi liatin cowo’ yang di sebrang itu yah?? Hayooo” tanyanya menggodaku.
“ih, apaan sih, sok tau deh kamu bin” jawabku tetap ketus
 “kau tau, dia itu cowo’ populer disekolah ini. Namanya langit. Udah ganteng, pinter, jago gitar pula” jawabnya seakan-akan tau semuanya. “kau suka padanya?” tanyanya.
Ternyata cowo’ populer yah. Aku sih hanya kagum, nggak sampai suka. Hanya sebatas kagum pada permainan gitarnya. Karena baru ini ada orang yang bisa memainkan nada pada gitar begitu merdu dan membuatku tenang. Tapi bisa saja sih rasa kagum ini tumbuh menjadi rasa suka. Gumamku dalam hati.
“heiii.. masih hidupkaan?” tnya bintang sambil melambaikan tangannya di depan mukaku.
“ah, iya maaf. Tadi kamu tanya apa?” jawabku tersadar dari lamunanku.
“aahh kamu ini. Kamu suka yah sama dia?” tanyanya dengan nada menekan.
“haa? Suka? enggaklah. Kenal aja enggak” jawabku sedikit tak jujur padanya.
“kriiingg” bel istirahat menutup obrolanku dengan sahabatku bintang.
***
            Sore ini gemercik air hujan lenyapkan keheningan. Aku masih terduduk di joglo sekolah. Lagi-lagi rintik hujan menghantarkan pikiranku pada saat itu. Saat dimana aku kehilangan orang-orang yang berharga bagiku. Ah, sudahlah bukan saatnya memikirkan hal itu lagi. Jangan sampai mereka tau airmataku.
Setengah jam berlalu, hujan belum berhenti juga. Tapi penghuni sekolah sudah tinggal aku dan pak Samin, tukang kebun sekolah. Aku tak ingin pulang basah kuyup. Karena pasti aku akan menangis di tengah hujan. Dan merasakan kembali rasa yang begitu sakitnya pada saat itu. Saat mereka telah menuju rumah kedua mereka dan aku hanya pulang sendiri. Gerimis hujan yang menemani langkahku pulang saat itu. Kapan hujan ini akan....
“hei, kenapa kamu belum pulang? Aku rasa ini sudah terlalu sore.” tanya seorang cowo’ yang membuyarkan lamunanku. Ternyata bukan tinggal aku saja siswa yang belum pulang. Cowo’ yang tak kukenal. Mungkin dia bertanya seperti itu karena baginya sungguh aneh jika ada seorang cewe’ yang sampai sekarang belum pulang juga hanya karena hujan gerimis ini. Tunggu, aku rasa cowo’ ini nggak asing di mataku. Lagi-lagi aku bergumam. Tapi segera kubuyarkan gumamanku. “ah, aku sedang menunggu hujan ini reda.” Jawabku segera sebelum aku terlihat seperti cewe’ aneh yang hobby bergumam.
“awannya rata berwarna kelabu, kau tau itu pertanda apa?” tanyanya padaku yang sedang berarap penuh agar hujan ini cepat reda.
“emm, pertanda hujan akan segera reda kan?” jawabku masih penuh dengan harapan.
“kamu salah, ini pertanda hujan akan tetap gerimis seperti ini sampai 1-2 jam kedepan” jawabnya yang... apa?? 1-2 jam? Aku harus menunggu selama itu? Gumamku dengan mata melotot menuju jalanan yang basah.
“aku rasa kamu butuh ini.” Katanya sambil menyodorkan tangannya yang sedang menggenggam sebuah payung. “kamu bisa memakainya, dan kembalikan kapanpun kamu bisa”. Katanya dengan sedikit senyum kecil di wajahnya.
Sedikit ragu tapi tanpa basa-basi aku lalu mengambil payung dari genggamannya. Ah, aku memang butuh ini tapi...
“yasudah, aku harus cepat pulang. Sampai jumpa!”. Ia lalu pergi dengan melambaikan tangannya padaku. Sepertinya ia terlihat begitu buru-buru. Ah! aku baru sadar, bagaimana bisa aku mengembalikan payungnya jika tak tahu namanya. “hei! Siapa namamu?” teriakku spontan.
“aku langit!” teriaknya dari jarak sekitar 9 meter didepanku. Tunggu dulu. Langit? Sepertinya namanya tak asing. Tapi mungkin hanya perasaanku saja.
Segera kulebarkan payung biru tua ini. Kulangkahkan kakiku menuju jalanan yang basah dan sedikit menggenang. Kususuri jalan setapak yang membawaku menuju rumah nenek yang sekarang menjadi rumahku juga. Sedikit kunikmati pemandangan sekitar. Kudengar suara merdu gitar. Kuputar bola mataku mencari suara itu. Ternyata beberapa pemuda yang sedang berteduh sambil meminum segelas kopi panas sedang bercanda gurau dan sesekali memainkan gitarnya. Tapi serasa ada yang aneh dalam pikiranku. Tiba-tiba aku teringat lagi pada cowo’ tadi. Ah! Langit? Dia kan si gitaris yang menarik perhatianku istirahat tadi. Begitu bodohnya aku bisa melupakannya hanya karena hujan ini. Tapi, karena hujan ini lah yang menahanku. Hingga aku bisa bertemu dengannya. Pertemuan yang sungguh singkat. tapi, aku ingin lebih mengenalnya lagi...
***
To be continued... ^^
           

0 komentar:

Posting Komentar